Senin, 19 Desember 2016

Doa Seorang Pemuda

Seorang pemuda bersikeras dalam doa, 
“Tuhan, saya cuma menginginkan wanita itu. Tak mau yang lain”.“Tapi, apakah kamu yakin?”, tanya Tuhan. “Iya Tuhan. Saya tak mau yang lain. Tolong, berikan dia untuk saya”. “Okelah”, kata Tuhan, “Kalau itu maumu”. Pemuda itupun secara ajaib bisa mendapat dan menikahi wanita itu. Tetapi perkawinannya kacau. Istrinya bukan wanita yang bertanggung jawab dan sama sekali tidak mengasihi dia. Ujung-ujungnya, ia menjadi gila
gara - gara menikahi wanita itu.




Dilema sebuah doa: Anda begitu menginginkannya, tetapi apakah Anda yakin bahwa itulah yang terbaik untuk Anda? Seringkali dalam doa, kita bukan meminta kebijaksanaan Tuhan untuk memberi yang terbaik, tetapi memaksa Tuhan mengikuti ‘agenda’ kita. Sebenarnya, beruntunglah orang yang merelakan Tuhan untuk melakukan yang terbaik dalam hidupnya serta mau menerima, meskipun tidak selalu yang seperti yang diinginkannya. Ada sebuah statement menarik, “Aku meminta pada Tuhan kemudahan, tetapi Tuhan memberiku cobaan... Aku marah awalnya... Tetapi ketika waktu berjalan bertahun - tahun, cobaan itulah yang menjadikanku seperti sekuat ini”. Karena itulah, lain kali kalau meminta dalam doa pikirkanlah apakah itu benar - benar yang terbaik buat kita?



source: Anthony Dio Martin, 10 Kisah Inspiratif Untuk Mengubah Hidup Anda

Jumat, 01 November 2013

The Way to Love: The Last Meditations of Anthony de Mello




The title of this little book has at least two meanings: the way to love in the sense of how we should love, and the Way to love in the sense of the spiritual path to love. They are the same.
The lessons of this little book are not easy to swallow when we are reeling from the loss of a love. But they are the necessary lessons that we need to learn in order to heal and to pass to the next level of love. My copy is dog-eared and many passages are underlined. I think I had a lot of lessons to learn.
De Mello’s message is that love is basically a nightmare. Or rather attachment is a nightmare, which in many of our cases is the same thing because we don’t know what love really is.

If you wish to attain lasting happiness, you must be ready to hate father, mother, even your own life and to take leave of all your possessions. Not by renouncing them or giving them up because what you give up violently you are forever bound to. But rather by seeing them for the nightmare they are; and then, whether you keep them or not, they will have lost their grip over you, their power to hurt you, and you will be out of your dream at last, out of your darkness, your fear, your unhappiness.
De Mello shows us that we are programmed by our upbringing and by society to believe we cannot be happy without certain things – money, power, love etc. We exhaust our energies trying to rearrange reality around us to conform to our programming. Sometimes we succeed briefly, but not for long. It is an impossible task. We must change the programming instead. This reminds me of the Buddhist saying: we cannot cover the world with leather, but if we cover our feet with leather it will be the same as covering the world with leather.

On the contrary, getting rid of attachments is a perfectly delightful task if the instrument you use to rid yourself of them is not willpower or renunciation but sight. All you need to do is open your eyes and see that you do not really need the object of your attachment at all…
Attachment is a false belief, a fantasy in your head. Think of your previous loves that you thought you could never live without, says De Mello, and how you got over them. De Mello suggests this affirmation to ‘give the order’ to your subconscious to change the programming:

I am not really attached to you at all. I am merely deluding myself into the belief that without you I will not be happy.

De Mello is pitiless in hammering the message home that the ‘battle of attachments’ can never be won. If we don’t get what we want we are unhappy, but if we get what we want, the minds dwells on the one thing we didn’t get. This reminds me of what we saw in my posts on gratitude: if we are not grateful for what we already have, we are unlikely to be grateful for what we will have. When we get what we want, without gratitude we soon become bored and start wanting something else and the battle of attachments wages on. De Mello enjoins us to enjoy things without becoming attached to them, without clinging to them, without believing that we can’t live without them (because we can and do live without them).

If you learn to enjoy the scent of a thousand flowers you will not cling to one or suffer when you cannot get it.
This brings us in fact to the right way to love: loving in a non-attached way, with no strings ‘attached’, loving from a position of independence. This goes against the way we normally love: we in effect say to the person ‘if you want to be especial to me you must meet my conditions’. Likewise, if we want to be ‘especial’ to someone we must ‘pay a price in lost freedom’.
Again these are hard lessons, when you are hurting, when you would willingly pay any price to get your lost love back. But our lost love is not coming back and usually it is better that way. And our path to healing passes through the realisation that it is better that way and why. De Mello gives us a striking way to see clearly through our pain by saying to the object of our attachment:

I leave you free to be yourself, to think your thoughts, to indulge your tastes, follow your inclinations, behave in any way that you decide is to your liking.
Once we say those words, we will either disagree with them and reveal our clinging, exploiting, deluded self or agree with them, sincerely, in which case we will feel all our attachment and dependence drop. It is likely we will not agree, in which case those words will serve as an affirmation to lead us to that place where they will become true.

I used these affirmations and I can say they help. It is a cruel medicine and it doesn’t work overnight, but it is what the doctor ordered.


Kamis, 15 Agustus 2013

Adversity Prompts Innovation

Early in the twentieth century, a boy whose family had immigrated from Sweden to Illinois sent twenty-five cents to a publisher for a book on photography. What he received instead was a book on ventriloquism.What did he do? He adapted and learned ventriloquism. The boy was Edgar Bergen, and for more than forty years he entertained audiences with the help of a wooden dummy named Charlie McCarthy.

The ability to innovate is at the heart of creativity, a vital component in success. University of Houston professor Jack Matson recognize that fact and developed a course that his student came to call "Failure 101". in it, Matson assigns students to build  mock-ups of products that no one would ever buy. His goal is to get students to equate failure with innovation instead of defeat. That way they will free themselves to try new things. "They learn to reload and get ready to shoot again," says Matson. If you want to succeed, you have to learn to make adjustments to the way you do things and try again.

What "problem" or "defeat" have you been dealt, and how can you turn it into an asset?

 - John C Maxwell

Kenali Diri Anda



Alkisah, di Jepang ada seorang samurai yang suka bertarung samurai. Samurai ini menantang seorang guru Zen untuk menjelaskan konsep surga dan neraka. Tetapui, pendeta itu menjawab dengan nada menghina,”Kau hanyalah orang bodoh, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk orang macam kamu!”

Merasa harga dirinya direndahkan, samurai itu naik darah. Sambil menghunus pedang ia berteriak,”Aku dapat membunuhmu karena kekurangajaranmu.”

“Nah,” jawab pendeta itu dengan tenang, “itulah neraka.”

Takjub melihat kebenaran yang ditunjukkan oleh sang guru akan amarah yang menguasai dirinya, samurai itu menjadi tenang, menyarungkan pedangnya, dan membungkuk sambil mengucapkan terimakasih kepada pendeta itu atas penjelasannya.

“Dan,” kata sang pendeta, “itulah surga.”

Kesadaran mendadak si samurai terhadap amarahnya sendiri menggambarkan perbedaan penting antara terperangkap dalam suatu gelombang perasaan dan sadar bahwa Anda dilanda oleh perasaan itu. Ajaran Socrates “Kenalilah dirimu” menunjukkan inti dari kecerdasan emosional (EQ): kesadaran akan perasaan dirri sendiri sewaktu perasaan itu timbul.

Sabtu, 27 Juli 2013

Doktrin Berfikir Positif



Halo teman-teman, pada kesempatan kali ini saya tidak berbicara mengenai materi inspirasi dulu ya. Postingan kali ini lebih kepada pemikiran saya mengenai fenomena berfikir positif. Ini diawali ketika saya melihat timeline di akun twitter saya. Saya tergerak untuk membuat tulisan tentang berpikir positif setelah melihat banyaknya sahabat-sahabat saya yang begitu mengkultuskan konsep berfikir positif. Apa-apa serba positif, serba tanda tambah.




Lho, kita harus selalu berfikir positif dong? Jangan sampai berfikir negatif, itu buruk buat diri kita sob.

Nah, inilah paradigma yang umum mengenai konsep berfikir positif tersebut. Apakah ketika kamu hendak tidur, kamu tidak perlu mengunci pintu rumahmu seraya berfikir,”Ah, positif thinking aja lah. Orang dilingkungan rumahku kan baik-baik”. Kemudian, misalanya bagi kamu yang memiliki kebiasaan merokok. Ketika ada orang lain yang memberikan saran agar kamu menghentikan kebiasaan tersebut, kamu malah berfikir positif,”Tidak apalah saya merokok, saya harus positif thinking bahwa dengan merokok ini, saya sudah membantu pemerintah.” Trus, misalnya kamu mau ujian, ibu mu menyarankan kamu untuk belajar, namun, bagi kamu yang sudah sangat positif ini berfikir,”Ga perlu belajar lah, yang penting positif thinking aja pasti lulus.” Silly us, eh!

Sebenarnya, berfikir positif dapat menjadi sangat powerful demikian pula halnya dengan berfikir negatif. Asalkan hal tersebut sejalan dengan prinsip yang telah saya emban, yaitu “Everything is evaluated by it’s context and ecology”. Dulu, saya juga tergabung dalam pasukan penegak “positif thinking”. Setelah memahami makna dari prinsip berfikir saya tadi, saya menjadi lebih fleksibel dalam pendekatan saya. Pada dasarnya, berfikir negatif juga penting sebagai langkah preventif, tapi dikonteks lain, berfikir negatif sangat tidak berguna. Ini berbicara mengenai konteks. Suatu hal dapat berguna di satu konteks, tapi sangat tidak berguna di konteks lainnya.

Ada hal lain yang bisa menjadi pertimbangan teman-teman. Daripada memikirkan yang ini positif, dan yang lainnnya negatif, dari pada terjebak dalam dua ekstrim tersebut, ada baiknya kita tinjau cara pandang baru. Yaitu dengan memahami, “Yang mana yang lebih Bermanfaat”. Kita tidak perlu terjebak dalam 2 kutub yang dipersoalkan banyak orang, tetapi kita keluar sejenak dari masalah kita dengan kacamata yang lebih realistis, yang mana yang lebih bermanfaat.

Sekian sharing singkat saya, semoga memberi sudut pandang baru bagi teman-teman sekalian. Jika teman-teman mempunyai pendapat lain, saya akan sangat senang bisa bertukar pikiran dengan teman-teman. Keep Learn & Share

Senin, 15 Juli 2013

Keluhan



Ada orang yang mengidap penyakit mengeluh yang kronis. Jika panas, terlalu panas. Jika dingin, terlalu dingin. Setiap haru adalah hari yang buruk. Mereka mengeluh meskipun segala sesuatu berjalan baik. Mengapa bukan gagasan yang baik untuk mengeluh? Karena 50% orang tidak peduli jika anda memiliki problem dan 50% sisanya senang jika anda menghadapi masalah. Apa manfaat mengeluh? Tidak ada yang dapat diperoleh dengan mengeluh. Mengeluh dapat menjadi sikap kepribadian. Apkah ini berarti kita tidak boleh mengeluh atau memancing keluhan? Tidak sama sekali. Sama halnya seperti kritik, jika dilakukan dengan cara yang positif, maka mengeluh dapat sangat bermanfaat. 


Keluhan yang konstruktif adalah:
a. menunjukkan bahwa orang yang mengeluh mempunyai perhatian
b. memberi kesempatan kedua kepada penerima keluhan untuk memperbaiki diri

Minggu, 14 Juli 2013

Berpikir menang-menang



Seorang pria meninggal dan malaikat bertanya kepadanya apakah ia ingin masuk surga atau neraka. Orang ini bertanya apakah ia boleh melihat kedua tempat itu sebelum memutuskan pilihannya.


Pertama, malaikat membawanya ke neraka dan pria itu melihat sebuah ruangan besar dengan meja panjang di dalamnya, banyak makanan di atas meja itu dan ada iringan musik. Ia juga melihat barisan orang dengan wajah pucat dan sedih. Mereka tampak kelaparan dan tidak ada tawa ria. Dan ia mengamati satu hal lagi. Tangan mereka terikat pada garpu berkaki empat dan pisau, dan mereka sedang berusaha mendapatkan makanan dari tengah meja itu dan memasukkan ke mulut mereka. Namun tidak bisa.


Kemudian ia pergi melihat surga. Disana, ia melihat sebuah ruangan besar dengan meja panjang di dalamnya, banyak makanan  di atas meja itu dan ada iringan musik. Ia juga melihat barisan orang di kedua sisi meja dengan tangan mereka terikat pada garpu berkaki empat dan pisau. Tetapi ia mengamati ada yang berbeda disini. Orang-orang disini tertawa ria, tampak tidak kelaparan dan sehat. Ia melihat bahwa mereka saling menyuapi dari seberang meja. Hasilnya adalah kebahagiaan, kesejahteraan, kesenangan, dan rasa syukur, karena mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri. Mereka berpikir menang-menang. Hal yang sama juga berlaku di dalam hidup kita. Jika kita melayani pelanggan kita, keluarga kita, majikan kita, karyawan kita, maka kita secara otomatis akan menang.